"Menjijikkan!" Itu komentar seorang praktisi hukum senior atas tingkah polah Gayus Tambunan yang bebas masuk keluar rumah tahanan, bahkan sampai pesiar ke Bali.
Ahli hukum ini mengaku kehilangan kata-kata melihat carut-marut pelaksanaan hukum di Indonesia akhir-akhir ini. “Logika saya, akal sehat saya, dan semua ilmu yang saya pelajari dan praktikkan selama ini tidak mampu menjelaskan fenomena hukum yang berkembang di negeri kita,” ujarnya. Ada perasaan masygul bercampur frustasi dalam nada suaranya.
Kegalauan yang sama tampaknya dirasakan banyak orang. Tiada hari tanpa berita yang menyiarkan kebobrokan pelaksanaan hukum di negeri tercinta ini. Kasus melenggangnya Gayus dari rumah tahanan hanya satu kasus yang kebetulan muncul ke permukaan karena terungkap. Layaknya fenomena gunung es, ini hanya puncak dari ribuan kasus sejenis.
Simak saja pernyataan Gayus ketika diperiksa polisi. Dia mengaku hanya mengikuti jejak dari lima tahanan lain di rutan Mako Brimob yang juga bebas masuk keluar rumah tahanan. Gayus juga mafhum perlu “pelicin” untuk mendapatkan izin petugas rutan.Katanya bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari sejarah. Tapi, bangsa kita–tepatnya pemerintah yang berkuasa–tampaknya ogah belajar dari sejarah. Kaburnya terpidana korupsi Eddy Tansil dengan cara menyuap sipir penjara tidak juga membuat kita waspada. Begitu juga kita seakan sudah lupa kasus tim Satgas Mafia Hukum yang menemukan kamar mewah milik terpidana suap Artalyta Suryani di dalam penjara. Biasanya ribut sebentar kemudian terlupakan.
Suatu hari, seorang teman mengajak saya menjenguk seorang terpidana kasus korupsi di sebuah rutan di Jakarta. Saat melapor di pos penjagaan terdepan, saya melihat teman saya menyisipkan uang ke tangan petugas yang sedang piket. Di dalam, saya kembali dikejutkan oleh leluasanya sang terpidana menyambut kami. Di saat tahanan lain terkunci di dalam sel, ia bisa leluasa lalu-lalang ke mana dia suka. Kami dijamu di sebuah ruangan yang cukup luas, lengkap dengan makanan dan minuman. Di sana kami bisa ngobrol sepuasnya tanpa ada batasan jam besuk. Sementara fasilitas handphone, laptop, televisi, DVD player merupakan pelengkap “standar” di ruangannya. Bagaimana dia bisa mendapatkan “kemewahan” itu? Sang terpidana hanya tersenyum.
Kali lain saya bertemu seorang pengusaha yang baru keluar dari penjara karena terlibat sengketa dengan mitra bisnisnya. “Anda jangan sekali-sekali masuk penjara,” ujarnya berapi-api. Dengan nada geram dia menceritakan betapa di dalam penjara dia menjadi obyek pemerasan para sipir. Karena merasa tidak bersalah, di pengadilan dia menolak permintaan hakim untuk menyetor sejumlah uang guna memenangkan perkaranya. Terlalu yakin bahwa di depan meja hijaulah keadilan akan ditegakkan, pengusaha tersebut justru masuk penjara. Pasalnya, lawannya lebih cerdik dengan memenuhi permintaan hakim. Di dalam penjara, dia mengaku menjadi obyek pemerasan petugas sipir. Siapa pun Anda, sebenar atau sesalah apapun, tak penting lagi. Seberapa kuatnya Anda membayar petugas lebih menentukan.
Praktik semacam ini sudah menjadi rahasia umum. Di dalam penjara dan rumah tahanan, semua ada harganya, termasuk untuk urusan syahwat. Asal ada uang, kebutuhan seks narapidana dapat disalurkan. Baik dengan istri sendiri maupun dengan pekerja seks komersial yang “diselundupkan”, dalam arti penyelundupan PSK itu umumnya berlangsung di depan hidung para sipir.
Kali lain, seorang mantan dirut sebuah bank besar mengirim SMS kepada saya, ia ingin bertemu dan “ngobrol”. Dalam pemahaman saya, saya tentu harus datang ke penjara. Di luar dugaan, dia bilang saya yang menentukan tempatnya, nanti dia yang akan datang. Amboi.
Carut-marut hukum dan perilaku bobrok yang dipertontonkan oleh orang-orang hebat di negeri ini kian menjadi-jadi. Kasus demi kasus yang terungkap tidak membuat pejabat, aparat, dan pemegang kekuasaan jera.
Rakyat melihat dan merasakan semua itu. Selama ini rakyat diam bukan karena bodoh, tapi karena merasa suaranya tidak didengar. Anggota Dewan yang terhormat, yang seharusnya menyampaikan aspirasi mereka, justru menjadi bagian dari kebobrokan hukum itu sendiri.
Kondisi ini membuat rakyat semakin apatis. Para pemimpin yang seharusnya mengayomi dan melindungi mereka semakin berjarak. Rasa keadilan menjauh. Perlakuan bak langit dan bumi antara pemilik uang–juga kekuasaan–dan rakyat kecil semakin menjadi-jadi.
Rakyat yang frustrasi kini mudah terbakar. Persoalan kecil bisa menyulut perkelahian massal yang membawa korban harta benda dan nyawa. Tampak rakyat melawan dengan caranya.
Jadi, soal lolosnya Gayus dari penjara harus menjadi pelajaran serius bagi semua pihak, terutama pemerintah yang berkuasa. Penjara hanya satu titik kebobrokan pelaksanaan hukum di negeri ini. Jika tidak ada reformasi yang signifikan, kepercayaan rakyat terhadap hukum–yang selama ini sudah menipis– suatu ketika akan hilang sama sekali. Di situlah titik awal kehancuran kita sebagai bangsa dan negara.
Saya setuju dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, bahwa maraknya jual beli hukum di negeri ini harus dilihat sebagai bencana. Menurutnya, negara yang tidak menegakkan hukum akan hancur.
Mahfud boleh jadi berlebihan. Tapi setidaknya dia sudah mengingatkan kita bahwa Indonesia sedang dalam masalah besar dan terancam karam. Bukan karena perbedaan antarumat beragama, melainkan karena hukum dan keadilan yang tidak ditegakkan.
Kamis, 02 Desember 2010 07:28 WIB
Penjara Gayus
Oleh : Andy F. Noya
Source : Penjara Gayus
Ahli hukum ini mengaku kehilangan kata-kata melihat carut-marut pelaksanaan hukum di Indonesia akhir-akhir ini. “Logika saya, akal sehat saya, dan semua ilmu yang saya pelajari dan praktikkan selama ini tidak mampu menjelaskan fenomena hukum yang berkembang di negeri kita,” ujarnya. Ada perasaan masygul bercampur frustasi dalam nada suaranya.
Kegalauan yang sama tampaknya dirasakan banyak orang. Tiada hari tanpa berita yang menyiarkan kebobrokan pelaksanaan hukum di negeri tercinta ini. Kasus melenggangnya Gayus dari rumah tahanan hanya satu kasus yang kebetulan muncul ke permukaan karena terungkap. Layaknya fenomena gunung es, ini hanya puncak dari ribuan kasus sejenis.
Simak saja pernyataan Gayus ketika diperiksa polisi. Dia mengaku hanya mengikuti jejak dari lima tahanan lain di rutan Mako Brimob yang juga bebas masuk keluar rumah tahanan. Gayus juga mafhum perlu “pelicin” untuk mendapatkan izin petugas rutan.Katanya bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari sejarah. Tapi, bangsa kita–tepatnya pemerintah yang berkuasa–tampaknya ogah belajar dari sejarah. Kaburnya terpidana korupsi Eddy Tansil dengan cara menyuap sipir penjara tidak juga membuat kita waspada. Begitu juga kita seakan sudah lupa kasus tim Satgas Mafia Hukum yang menemukan kamar mewah milik terpidana suap Artalyta Suryani di dalam penjara. Biasanya ribut sebentar kemudian terlupakan.
Suatu hari, seorang teman mengajak saya menjenguk seorang terpidana kasus korupsi di sebuah rutan di Jakarta. Saat melapor di pos penjagaan terdepan, saya melihat teman saya menyisipkan uang ke tangan petugas yang sedang piket. Di dalam, saya kembali dikejutkan oleh leluasanya sang terpidana menyambut kami. Di saat tahanan lain terkunci di dalam sel, ia bisa leluasa lalu-lalang ke mana dia suka. Kami dijamu di sebuah ruangan yang cukup luas, lengkap dengan makanan dan minuman. Di sana kami bisa ngobrol sepuasnya tanpa ada batasan jam besuk. Sementara fasilitas handphone, laptop, televisi, DVD player merupakan pelengkap “standar” di ruangannya. Bagaimana dia bisa mendapatkan “kemewahan” itu? Sang terpidana hanya tersenyum.
Kali lain saya bertemu seorang pengusaha yang baru keluar dari penjara karena terlibat sengketa dengan mitra bisnisnya. “Anda jangan sekali-sekali masuk penjara,” ujarnya berapi-api. Dengan nada geram dia menceritakan betapa di dalam penjara dia menjadi obyek pemerasan para sipir. Karena merasa tidak bersalah, di pengadilan dia menolak permintaan hakim untuk menyetor sejumlah uang guna memenangkan perkaranya. Terlalu yakin bahwa di depan meja hijaulah keadilan akan ditegakkan, pengusaha tersebut justru masuk penjara. Pasalnya, lawannya lebih cerdik dengan memenuhi permintaan hakim. Di dalam penjara, dia mengaku menjadi obyek pemerasan petugas sipir. Siapa pun Anda, sebenar atau sesalah apapun, tak penting lagi. Seberapa kuatnya Anda membayar petugas lebih menentukan.
Praktik semacam ini sudah menjadi rahasia umum. Di dalam penjara dan rumah tahanan, semua ada harganya, termasuk untuk urusan syahwat. Asal ada uang, kebutuhan seks narapidana dapat disalurkan. Baik dengan istri sendiri maupun dengan pekerja seks komersial yang “diselundupkan”, dalam arti penyelundupan PSK itu umumnya berlangsung di depan hidung para sipir.
Kali lain, seorang mantan dirut sebuah bank besar mengirim SMS kepada saya, ia ingin bertemu dan “ngobrol”. Dalam pemahaman saya, saya tentu harus datang ke penjara. Di luar dugaan, dia bilang saya yang menentukan tempatnya, nanti dia yang akan datang. Amboi.
Carut-marut hukum dan perilaku bobrok yang dipertontonkan oleh orang-orang hebat di negeri ini kian menjadi-jadi. Kasus demi kasus yang terungkap tidak membuat pejabat, aparat, dan pemegang kekuasaan jera.
Rakyat melihat dan merasakan semua itu. Selama ini rakyat diam bukan karena bodoh, tapi karena merasa suaranya tidak didengar. Anggota Dewan yang terhormat, yang seharusnya menyampaikan aspirasi mereka, justru menjadi bagian dari kebobrokan hukum itu sendiri.
Kondisi ini membuat rakyat semakin apatis. Para pemimpin yang seharusnya mengayomi dan melindungi mereka semakin berjarak. Rasa keadilan menjauh. Perlakuan bak langit dan bumi antara pemilik uang–juga kekuasaan–dan rakyat kecil semakin menjadi-jadi.
Rakyat yang frustrasi kini mudah terbakar. Persoalan kecil bisa menyulut perkelahian massal yang membawa korban harta benda dan nyawa. Tampak rakyat melawan dengan caranya.
Jadi, soal lolosnya Gayus dari penjara harus menjadi pelajaran serius bagi semua pihak, terutama pemerintah yang berkuasa. Penjara hanya satu titik kebobrokan pelaksanaan hukum di negeri ini. Jika tidak ada reformasi yang signifikan, kepercayaan rakyat terhadap hukum–yang selama ini sudah menipis– suatu ketika akan hilang sama sekali. Di situlah titik awal kehancuran kita sebagai bangsa dan negara.
Saya setuju dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, bahwa maraknya jual beli hukum di negeri ini harus dilihat sebagai bencana. Menurutnya, negara yang tidak menegakkan hukum akan hancur.
Mahfud boleh jadi berlebihan. Tapi setidaknya dia sudah mengingatkan kita bahwa Indonesia sedang dalam masalah besar dan terancam karam. Bukan karena perbedaan antarumat beragama, melainkan karena hukum dan keadilan yang tidak ditegakkan.
Kamis, 02 Desember 2010 07:28 WIB
Penjara Gayus
Oleh : Andy F. Noya
Source : Penjara Gayus
Cancel
Berkomentarlah Dengan Bijak, Jangan Nyepam..
Bila tidak memiliki blog/website, pilihan anonymous adalah pilihan untuk anda, atau jika anda memiliki akun Facebook, pilihan name/url bisa dipakai dengan cara, masukkan alamat/url profil facebook anda di kolom url.
Salam "Apa Kabar Nusantara"