Mari Kita Belajar Dari Kasus Indomie

RAZIA dan penarikan sejumlah produk makanan di pasaran karena dianggap membahayakan kesehatan seperti yang dilakukan otoritas Taiwan sebetulnya fenomena biasa. Itu sesuatu yang rutin. Tindakan tersebut sama dengan yang dilakukan oleh Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) saat menelisik produk-produk di pasar swalayan di tanah air.

Tujuannya memberikan perlindungan kepada masyarakat konsumen. Khususnya dari produk ilegal yang membahayakan kesehatan. Berita tersebut berdampak luas di tanah air karena Indomie –merek mi yang terkena razia– bukan hanya produk kebanggaan dan menguasai pasar Indonesia, tapi juga sudah diekspor ke banyak negara. Karena itu, bisa dipahami menyebarnya isu di Taiwan itu sampai ke Hongkong dan Singapura.Mi instan adalah makanan yang makin populer di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa. Di tanah air, permintaan terus tumbuh sehingga mengundang pemain baru untuk masuk. Karena ditopang permintaan pasar domestik yang besar itu, tidak heran kita bisa melahirkan pemain global dalam industri tersebut. PT Indofood Sukses Makmur Tbk, produsen Indomie, misalnya, sudah merambah pasar sekitar 50 negara.

Indonesia tentu berkepentingan terhadap penanganan gangguan padam citra produk mi instan nasional di luar negeri. Penyelesaiannya perlu dilakukan dengan baik. Jangan sampai eksesnya terus melebar ke Negara-negara lain sehingga mengganggu pemasukan devisa negara.

Menjual produk makanan ke pasar ekspor memang bukan hal mudah. Sebab, setiap negara memiliki aturan dan standar untuk menyatakan produk aman atau tidak. Tidak terkecuali jenis bahan pengawet makanan yang memang lumrah digunakan oleh produsen makanan. Dalam kasus di Taiwan itu, otoritas setempat menemukan bahwa Indomie mengandung, methyl phydroxybenzoate, bahan pengawet yang tidak dibolehkan masuk ke negaranya. Salah satu efeknya bisa menimbulkan muntah-muntah. Bahkan, efek terberat jika dikonsumsi berlelebihan dalam jangka panjang bisa menimbulkan kanker. Padahal, di banyak negara, termasuk Indonesia, Singapura, Malaysia, Kanada, Amerika, dan lain-lain, zat yang disebut nipagin itu (dengan batas takaran tertentu) boleh digunakan untuk pengawet makanan. Merespons kasus di Taiwan itu, Indofood yang sekitar 20 tahun menggarap pasar ekspor kemarin menyatakan bahwa perusahaannyaselalu patuh pada peraturan negara tujuan ekspor. Termasuk soal jenis kandungan bahan pengawetrnya. Bisa jadi, ada importer yang salah memasukkan produk Indomie yang sebetulnya bukan untuk pasar Taiwan sehingga menimbulkan masalah tersebut.

Dari kasus mi Indomie tersebut, kita bisa belajar tentang ketatnya otoritas negara-negara lain dalam memantau produk makanan yang beredar di negaranya. Langkah ini pula yang seharunya dilakukan oleh otoritas di Indonesia (termasuk BPOM) untuk melindungimasyarakat konsumen di tanah air. Terkait dengan produk mi instan, kita di Indonesia tidak perlu resah dengan berita di Taiwan tersebut. Seperti ditegaskan oleh Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih kemarin, mi instan buatan Indonesia yangsudah terdaftar di BPOM aman untuk dikonsumsi. Sebab, kandungan bahan pengawet nipagin yang dipakai masih aman.Meski demikian, seperti ditegaskan oleh Menkes sendiri, itu tidak lantas berarti pemerintah menganjurkan masyarakat untuk meningkatkan konsumsi mi instan. Sebab, makanan segar, terutama sayur dan buah, jauh lebih aman dan menyehatkan bagi tubuh kita semua.
LihatTutupKomentar
Cancel

Berkomentarlah Dengan Bijak, Jangan Nyepam..
Bila tidak memiliki blog/website, pilihan anonymous adalah pilihan untuk anda, atau jika anda memiliki akun Facebook, pilihan name/url bisa dipakai dengan cara, masukkan alamat/url profil facebook anda di kolom url.

Salam "Apa Kabar Nusantara"